Beberapa hari yang lalu, aku bertemu teman yang menyampaikan kata-kata dari Ayu Azhari:
Kita ini adalah hasil dari tempaan pengalaman yang kita dapat di masa lalu.  Jangan menilai seseorang dari luarnya saja. Kita bahkan tidak tahu pengalaman apa dan bagaimana yang membawanya sampai ke titik ini.

Aku merenungkan kembali kata-kata itu. Memang benar, semakin kita ditempa cobaan yang kuat dalam hidup, semakin kuat pula kita menyongsong masa depan. Kali ini, aku akan melanjutkan cerita sebagian perjalanan hidupku sebelum berangkat ke Jerman. Semoga dengan membaca ini, kita bisa mengambil pelajaran dan lebih semangat dalam mencapai cita-cita.

Kalau kalian belum membaca kisah sebelumnya, silakan dibaca dulu ya:
Part 1: Semua Berawal Dari Patah Hati  
Part 2: Tak Ada Yang Kebetulan
Part 3: Jangan Menyerah! 

Setelah satu keajaiban datang dari pihak kedubes Jerman yang mengubah kebijakan umur au pair menjadi maksimal 26 tahun, aku mulai bersemangat lagi. Lalu, aku mulai les Bahasa Jerman di guru adikku di kota Batu. Karena dengar-dengar ujian Bahasa Jerman itu syusyahnya minta ampun, aku sempatkan diri untuk mendengarkan percakapan lewat you tube, dan terus melatih diri untuk menghafal kosa kata sebanyak mungkin. 

Datang keajaiban lain pada hidupku saat itu. Aku bertemu Lotte, mahasiswa Stuttgart yang saat itu magang melalui AIESEC di Blitar. Saat ada konferensi AIESEC di Malang, Lotte ikut jadi salah satu peserta di sana. Bersama Anne, aku menyempatkan diri ngobrol dan akhirnya kami berteman. Bersama dia, aku rutin sms pakai bahasa Jerman. Saat berkunjung ke Malang, aku juga menemaninya jalan-jalan sambil melatih bahasa Jermanku yang masih kacau balau. 

Saat sudah mendaftar ujian di Goethe Institut, aku mempertaruhkan hidup dan matiku pada hasil ujian itu. Pasalnya, untuk menempuh ujian itu tidak murah juga. Saat itu (di tahun 2013), aku harus membayar 850 rupiah untuk sekali ujian. Kalau gagal? uangnya tak bisa kembali. Bukan masalah uangnya, kalau aku gagal, aku harus menunggu di bulan berikutnya untuk bisa ujian lagi, sedangkan aku sudah harus apply visa di bulan berikutnya. 

Aku mendapat gelar S.Pd dan wisuda di tanggal 23 Oktober 2013, dua hari setelahnya, aku meluncur ke Surabaya berperang demi sertifikat A1. Diiringi doa dari ibu, kerabat, dan kawan dekat, aku berangkat sendiri ke Surabaya. Ujian diadakan pukul 10.00 WIB. Aku tidak ingin mengambil resiko datang terlambat dengan naik kereta api. Oleh karena itu, aku rela membayar agak mahal demi datang lebih awal dengan menyewa jasa travel. Datang-datang malah kepagian. Akhirnya aku yang datang pukul 07.00 itu harus rela menunggu di depan pintu gerbang sampai Goethe dibuka.

Aku percaya Tuhan telah menyiapkan takdir yang baik. Meskipun jalannya tak selalu lurus. Takdir baik itu juga termasuk takdir dipertemukannya sahabat-sahabat yang baik. Seperti takdir bertemu sahabat berkeliling Eropa saat aku menunggu Goethe dibuka. 

Sebut saja gadis cantik itu Della. Sejak awal bertemu sampai sekarang, aku tak pernah memungkiri kecantikannya yang mengalahkan model korea. Semoga kalau dia baca ini, tidak akan marah fotonya kupajang di sini. 

My best Euro Travel Mate

Della yang cantik itu baru lulus SMA saat aku bertemu dengannya pertama kali. Dia yang awalnya kukira sombong itu ternyata memang sombong. Hahha, kalau belum kenal. Aslinya dia pemalu, tapi kalau sudah akrab, lebih sering malu-maluin. Dia sering saja marah kalau aku bilang, “Kon iku ayu! Wong lanang endi ae pasti langsung seneng ndelok awakmu!” (kamu itu cantik, pria mana saja pasti langsung terpikat kalau lihat kamu!).

Tak seperti kebanyakan remaja yang lulus SMA, Della punya jiwa juang yang harus selalu aku acungi jempol. Dia bukan berasal dari keluarga miskin sepertiku. Dari pertama kali bertemu saja, aku sudah langsung tahu kalau dia berasal dari keluarga yang berada. Tapi dia ingin mencoba hidup mandiri, jauh dari orang tua, keliling Eropa dengan jerih payah sendiri dengan menjadi Au Pair. 
Saat bertemu di Goethe Institut, dia ditemani guru bahasa Jermannya  jadi kami tak banyak ngobrol. 

Keakrabanku dengan Della adalah saat kami sudah sama-sama berada di Jerman. Dia mendapatkan host family di Münster (NRW), sedangkan aku di München (Bayern). Jarak keduanya bisa ditempuh bis dalam waktu 8 jam. Tapi kami sering ngobrol lewat whatsapp untuk merencanakan keliling Eropa berdua. Kisah keliling Eropa kami yang penuh dengan kegilaan bisa dibaca di sini. Mulai dari dikasihani orang karena dianggap gembel jalanan di Jerman, ditipu bapak-bapak di Belanda, dikibuli sama supir Arab di Belgia, bertengkar dan membenci Paris, sampai hampir di perkosa saat kembali ke Jerman lagi. Saat di Jerman, Della sama gembelnya sepertiku. Tapi saat kami pulang dan kembali ke Malang, terlihat jelas kalau dia bukan gembel. Sedangkan aku masih saja gembel. :D. Dia yang pulang duluan karena kontrak kerjanya sudah habis, menjemputku di stasiun kota baru Malang dengan mobilnya. Beberapa hari kemudian, kami menghabiskan waktu bersama di kediamannya di daerah gunung kawi. Kulihat Della sama sekali tak kekurangan apapun, rumahnya besar, rumah, mobil dan motornya banyak, toko, warnet, hotel, dan segala kemewahan juga ada. Dia benar-benar gembel yang menyamar, batinku. :D. Della oh Della, sahabatku itu saat ini (detik ketika aku menulis ini) sedang menempuh kuliah kedokteran di Rusia. Kami masih sering ngobrol meski terpaut waktu 8-9 jam Jerman-Rusia. Dia masih sangat muda, tapi  kedewasaannya membuatku saat bersamanya, merasa bisa jadi seumuran, kadang kakak, kadang adik, kadang malah seperti ibuku. Hehhehe…

Kembali ke ujian di Goethe Institut. Tak hanya aku dan Della, seingatku, ada beberapa peserta ujian lain di sana. Setelah ujian selama 3 jam itu berlangsung, kami ingin menunggu hasil lulus tidaknya di hari itu juga. Panitia ujian bilang bahwa hasilnya bisa diketahui pukul 16.00. Jadi, aku, Della, guru lesnya, dan 2 orang cowok lainnya yang tadi juga ikut ujian, memutuskan untuk berjalan-jalan sambil nyari makan siang. 

Saat makan siang itulah, Della mulai cerita-cerita, ngalor ngidul mulai dari sekolahnya, keinginannya ke Eropa, dan mimpi-mimpinya serta kisah cintanya. Kami mulai sedikit akrab, tukar nomor whatsapp dan facebook. Aku yang nge add dia saat itu baru diterima setelah 2 bulan. Dasar!

Hasil ujiannya pun keluar. Aku dan Della lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Aku bahkan kaget setengah mati, karena aku hampir yakin, kemampuan berbicaraku masih NOL besar. Tapi hasil itu tercover oleh kemampuan menulis, membaca dan mendengarkan. Ada beberapa orang yang nggak lulus juga. 

Sertifikat kemampuan bahasa itu aku ambil seminggu setelahnya. Aku menghubungi Nadja bahwa aku telah lulus test dan mendapat sertifikat A1, mereka senang sekali. Sekarang tinggal membuat janji di kedutaan Jerman di Jakarta untuk apply Visa. 

Membuat janji untuk Apply Visa di Kedubes Jerman kalau kata Syahrini itu: SESUATU. Janji dibuat hari ini, janji didapat kemungkinan 2 bulan lagi. Tapi yang namanya orang sudah beruntung itu, selalu saja dipermudah jalannya. 

11 November 2013, dokumen-dokumen yang dikirim Nadja datang, tepat 5 hari setelah dikirimnya dari Jerman. Nggak telat, nggak molor seperti sebelumnya. Saat aku merasa semua dokumen sudah lengkap, kontrak kerja, asuransi kesehatan dan perjalanan, penerimaan sekolah bahasa di Jerman,  sertifikat bahasa, paspor, foto dan sebagainya sudah di tangan, aku mencoba membuat janji di kedubes. 

Saat bertemu Della, dia mengingatkanku: Nggak mungkin kamu dapat termin (janji) di kedubes dengan cepat, kecuali kalau ada seseorang yang membatalkan janjinya, kamu bisa menyusup!. Aku coba saja membuat janji, ndilalah kok ada orang yang membatalkan janjinya di tanggal 22. November pukul 09.00. Aku langsung saja menyusup menggantikan orang tersebut. Jadilah aku berangkat ke Jakarta untuk apply Visa. 

Proses apply Visa adalah fase puncak yang paling membuat frustasi. Bagaimana kisahku di kedubes yang sempat memalukan dan membuatku putus asa? Nantikan kisah selanjutnya ya…

Bersambung…..
Part 5: Percaya Saja!!!!

Viele Grüße

Comments

  1. Sepertinya memang perjalanan menuju Jerman direstui Tuhan ya, karena dibalik kesulitan ditemukan kemudahan 🙂 Della cantik ya hehehe…
    Ngomongin ttg bhs Jerman, saat SMA, selain bhs Inggris, bhs Jerman adalah mata pelajaran favorit saya. Sayangnya, saya tdk melanjutkan kesukaan saya thdp bhs Jerman ini 🙁

  2. Pernah hampir satu kali saat di München, tapi aku malah nggak datang. hahaha…padahal beliau sekarang di Jerman juga. Tapi karena nggak ada kepentingan dengan beliau, jadi aku nggak punya motivasi buat bertemu. Ahhh dasar aku 😀

  3. Memang tidak ada sesuatu pun yang kebetulan, semua sudah direncanakan secara cantik oleh Yang Maha Pencipta. Keren lah. Aku dulu punya cita-cita yg sama, ke Jerman. Tapi belum kesampaian, hahaha.

  4. Salam, kak. Apa bisa kalau kita jadi au pair di Jerman tetapi tidak mengambil kursus bahasa Jerman? Ditunggu balasannya, kak. Terima kasih.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *